Hadiah Kecil dari Al-Muzammil

Teruntuk seseorang di sana yang masih kusebut dalam do’aku..

Hari itu, seperti biasa, saya membuka internet untuk mencari sesuatu yang bisa kubaca. Maklum, tak lengkap rasanya jika tidak membaca sesuatu yang bermanfaat. Ada satu situs yang begitu saya gemari karena di dalamnya ada terdapat banyak artikel tentang Islam, terutama dari pandangan Ahlulbait. Akhirnya saya buka situs tersebut. Dalam sekian detik muncullah tampilan situs tersebut dengan komposisi warna yang hangat untuk dilihat mata. Mataku beralih ke kolom pencarian sembari bertanya, “Apa yang saya bisa cari? Apa yang ingin saya ketahui?” Tiba-tiba muncul satu kata dalam benak saya; Al-Qur’an. Yang sesungguhnya adalah saya sangat penasaran tentang surat-surat dalam Al-Qur’an yang tidak diturunkan percuma begitu saja. Pasti ada keutamaan-keutamaan atau manfaat yang bisa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.

Benarlah. Muncul satu hasil pencarian yang berjudul “Fawaid-e Qur’an”. Langsung kubuka link tersebut. Alhamdulillah, tepat sesuai dengan keinginanku. Antara terharu dan senang. Lalu saya baca satu per satu dengan sabar. Decak kagum tak ada habisnya. Benar Allah Maha Kuasa. Maha Baik-Nya Dia tak pernah terukur oleh perasaan senang yang dimiliki manusia. Teringatlah aku pada kata-kata seorang yang sangat bijak, “Jikalau penduduk bumi dari barat hingga timur binasa, aku tidak akan takut selama ada Al-Qur’an di sisiku.”

Di sela-sela kegiatan membaca itu, aku menemukan beberapa surat yang bermanfaat sebagai pengabul do’a kita. Di antaranya, Surat Yasin, Nuh, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir. Siapa kiranya yang tidak ingin do’anya dikabulkan, bukan? Aku ingat baik-baik surat-surat tersebut. Beberapa kali kucoba memanjatkan permohonan melalui surat-surat tersebut. Walhasil, do’aku terjawab dengan rencana-Nya yang indah.

Salah satunya Al-Muzammil. Akhir-akhir ini aku menggunakan surat ini untuk pengabulan permohonanku, terutama untuk kita. Kau dan aku. Saya tak layak memaksa Allah karena Allah Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Hanya dapat kupanjatkan memohonkan yang terbaik untuk kita. Jikalau Allah mengizinkan, kelak kita akan bersatu lagi dalam mahligai pernikahan. Namun jika tidak, Allah punya segudang rencana untuk kita, yang pastinya kita tidak akan dibuat-Nya kecewa jika kita hanya berharap pada-Nya. Saya selalu berpikir, Allah tidak pernah tidak menjawab do’a kita. Jawaban-Nya beragam; dikabulkan, ditunda, atau diganti dengan yang lebih baik.

Inilah keinginanku. Betapa aku ingin memurnikan setiap tingkah laku ini sehingga dapat kupersembahkan hanya untuk-Nya. Aku, ingin mencintaimu dengan murni. Mencintaimu lewat bait-bait do’a, karena sesungguhnya aku ingin kau selalu dalam keadaan baik-baik saja.

“… Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzammil:20)

Between God, Me, and You

Kembali, pergolakan batin mengganggu jiwa yang rapuh ini. Selalu kesal, kapan aku akan sekuat engkau?

Ah, tapi tak patut hamba yang lemah terus mengeluh. Sedangkan ia masih punya Tuhan yang selalu bersamanya. Beberapa menit merenung, masalah batin ini kurasa memang berasal dari banyaknya dosa yang saya perbuat. Ya, saya masih jadi seorang yang gampang mendua di hadapan Tuhan. Rasanya tak layak kalimat dzikir melantun dari bibir, namun hati dan badan tak jua berdzikir. Memang, tuanku pernah berkata, dzikir hati adalah yang paling sulit dilakukan. Tapi saya tetap yakin bisa melakukan itu. Akan kunikmati keindahan-Nya walau saya tidak bisa melihat-Nya.

Oh, Tuhan, betapa aku merindu. Walau aku merasa setiap saat didekap oleh-Mu, namun mengapa tangisan karena rasa bersalah selalu kukeluarkan? Menangisi diri sendiri karena tak mampu meraih tingkat yang lebih tinggi lagi. Aku ingin mencapai tingkat tertinggi.

***

Maaf, belum layak aku mengumbar cinta pada seseorang sebelum aku cintai Dia yang lebih utama. Aku hanya tidak ingin mengotori hati dan pikiran dengan harapan terhadap manusia. Angan-angan telah membutakanku akan masa kini. Aku merasa bersalah, jangan-jangan yang aku ungkapkan pada orang itu bukan cinta, tapi nafsu. Sesungguhnya cinta tidak melemahkan, tapi menguatkan. Jika tidak menguatkan, itu bukan cinta, tapi nafsu. Setiap kau ikuti nafsu, pasti kau akan jatuh dan menyesal. Mengikuti cinta mungkin dapat membuatmu jatuh, namun ia tidak membuatmu menyesal.

Maka itulah, sebelum penyesalan datang, aku ingin mencegahnya dengan mempersiapkan diri. Menyucikan batin dan memaksimalkan kemampuan diri. Kelak ini akan menjadi sebuah kejutan untuknya, yang memang ditakdirkan untukku. Kelak kutunjukkan padanya bahwa aku benar-benar mencintainya, tak hanya dalam perasaan dan perkataan semata.

 

Tak pantas lah hamba sahaya mengkhianati tuannya

berlagak dengan menampakkan dua muka

padahal tuannya telah jelas berkata

“Jadilah kau hambaku yang setia”

Speechless

I love reading timeline, whether it is in Facebook or Twitter. Sometimes I become speechless when I see the first post that emerges in timeline is about someone’s happiness (e.g. my friend’s celebration), but after that, I see the post about an accident that occurred to some people in another world (e.g. natural disaster, riot, etc).

I remind myself about one narration, which told that if we wake up from our sleep and don’t care about what happen to another people (especially brother in faith, Moslem), then we are not Moslem. A question in my mind, “What happen to this world?”.

Where is our concern now? Only for showing-off our happiness, while our brothers suffer and succumb to death? Where are our prayers gone? Is it supposed to be a gift to our brothers? Oh, damn, how ungrateful I am! I’m sitting here in peace and watching my brothers in faith crying in their suffering. While I’m still complaining about my situation now.

Thankfully God still showers me His grace so that I still live peacefully. Yes, I can do nothing for them, but at least, I can pray for them. Hey my brothers there, await the relief patiently. Let us pray together to hasten the appearance of our hero. Let us cry, begging no one but God, to relieve our pain. Surely, God is with us.